Sebutkan 4 Ragam Burung Enggang Khas Kalimantan Timur

Sebutkan 4 Ragam Burung Enggang Khas Kalimantan Timur

Enggang gading (Rhinoplax vigil) merupakan salah satu spesies yang mudah dikenali dari bentuk tubuhnya yang besar dan suara ‘calling’-nya yang bisa menggema ke penjuru hutan. Dengan postur tubuh yang besar, bulu ekor yang panjang menjuntai, bulu mata yang lentik, bentang sayap yang lebar, tampilan kepala yang unik membuat enggang gading terkesan sebagai burung purba. Enggang gading sudah lama mendiami hutan-hutan primer di Kalimantan Barat.

Enggang gading maskot Kalimantan Barat. (Rangkongid/Aryf Rahman)

Menurut kehidupan Suku Dayak, enggang gading memiliki nilai-nilai yang bisa menjadi teladan dalam berkehidupan. Beberapa filosofi  yang dimiliki kemudian dijabarkan oleh salah seorang penggagas maskot Kalimantan Barat, Budi Suriansyah, diantaranya:

Alasan inilah yang membuat spesies ini dipilih menjadi maskot Kalimantan Barat. Penetapannya didasarkan pada:

Meski telah ditetapkan sebagai maskot Kalimantan Barat sejak tahun 1990, masih banyak masyarakat yang tidak familiar dengan enggang gading. Berdasarkan hasil survei persepsi yang kami lakukan dari tahun 2018-2020 dari 513 responden sebanyak 86% responden tidak mengetahui enggang gading sebagai maskot Kalimantan Barat dan bahkan sering tertukar dengan enggang cula. Mengapa bisa terjadi?

Beberapa dugaan muncul salah satunya karena enggang cula dianggap lebih menawan. Berbeda dengan enggang gading, enggang cula tampak cantik karena bentuk balungnya yang lentik dan lebih menarik. Enggang cula juga lebih sering digunakan sebagai pelengkap dekoratif dalam pakaian adat dan ritual adat ketimbang enggang gading.  Bahkan Suku Dayak Iban memiliki Ritual Kenyalang atau Ritual enggang cula yang merupakan ritual terbesar bagi Suku Dayak Iban.

Sementara Suku Dayak Tamambalo menjadikan enggang cula sebagai penanda akan terjadi hal baik ataupun hal buruk berdasarkan arah terbangnya.

Enggang cula sebagai ornamen bangunan di Kalimantan Barat. (Rangkongid/Hardiyanti)

Ditambah enggang cula mendiami hutan sekunder yang jaraknya lebih dekat dengan tempat tinggal masyarakat sehingga mudah dijumpai, dibandingkan enggang gading yang habitatnya berada di hutan primer. Artinya, lokasinya sulit dijangkau oleh manusia. Sehingga masyarakat lebih familiar dengan enggang cula daripada enggang gading. Terbukti ketika ada perayaan-perayaan pembangunan daerah Kalimantan Barat, enggang cula lebih sering ditampilkan daripada enggang gading.

Di tengah kondisi ini, upaya untuk memperkenalkan enggang gading kepada masyarakat telah dilakukan lebih dari dua dekade yang lalu. Bapak Abdul Halim Ramli, ilustrator maskot Kalimantan Barat, telah bergerak untuk memperkenalkan enggang gading sebagai maskot Kalimantan Barat diantaranya dengan membuat pameran seni rupa di Taman Budaya Pontianak pada awal Februari 1993. Pameran ini juga diresmikan oleh Bapak Aspar Aswin, Gubernur Kalimantan Barat kala itu. Beliau juga menciptakan syair yang dijadikan sebagai lagu balada yang pernah dilagukan pada kegiatan di Taman Budaya Pontianak.

Upaya memperkenalkan maskot Kalbar tidak berhenti disitu. Jepit dasi berbentuk enggang gading yang terbuat dari emas bermata intan diserahkan oleh Pemda TK 1 Kalbar kepada Gubernur Kalimantan Barat, Bapak Soedjiman ketika beliau purna bakti.

Foto, lukisan maupun Maskot Kalbar juga dimuat pada cover depan buku Atlas Kalimantan Barat yang telah diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Kalbar pada bulan Juni 1993. Buku ini lalu disebarkan hampir ke seluruh SDN di Kalbar. Jika digali lebih jauh, bahkan ada lagu “Enggang Gading dan Tengkawang Tungkul” yang dikenalkan kala itu dengan syair ciptaan Bapak Paul Putra. Lagu ini telah disebarkan di Pontianak dibawah label HB Production.

Seiring berjalannya waktu, ada pergeseran pengetahuan. Sebab sampai saat ini masyarakat masih banyak yang belum mengetahui maskot daerahnya sendiri. Artinya kita masih memiliki tugas untuk berbagi informasi dan terus menyadarkan masyarakat bahwa maskot Kalimantan Barat bukanlah enggang cula, tapi enggang gading. Dengan lebih banyak yang mengetahui, diharapkan kebanggaan dan rasa memiliki masyarakat akan spesies yang saat ini populasinya kritis akan semakin meningkat.

Penulis: Hardiyanti Editor: Mutiara Imanda Yusuf

BANJARMASINPOST.CO.ID, KUBU RAYA - Seekor Enggang Borneo hitam dengan perut putih atau sering disebut kangkaren perut putih ditemukan membusuk di Mungguk Linang Desa Batu Ampar Kecamatan Batu Ampar.

Saat ditemukan kondisi enggang tersebut sudah mulai membusuk dan dikerumuni semut dan lalat hutan.

Terlihat sebagian tubuhnya membiru dan mengalami luka parah. Anak enggang yang berukuran sekitar 15 sentimeter dengan berat sekitar 0,5 kilogram ditemukan tewas mengenaskan di tepi tangga menuju tower salah satu operator seluler di Mungguk Linang, Selasa (10/5/2016) sekitar pukul 10.30 WIB.

Diduga Enggang yang masuk famili bucerotidae tersebut merupakan korban pemburuan liar warga, sebab di sekujur tubunya terdapat luka berlubang dibagian dada hingga sayap. Kuat dugaan bahwa luka tersebut akibat dari timah panas pemburu.

Padahal Enggang yang dalam bahasa inggris disebut dengan istilah Harnbill tersebut merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan peraturan perlindungan binatang liar tahun 1931 dan peraturan Pemerintah No 07 tahun 1991 tentang jenis satwa yang dilindungi.

Seorang saksi mata Iqbal (31), saat ditemui dilokasi kejadian menuturkan bahwa Enggang tersebut diperkirakan mati sekitar 2 hari yang lalu.

Dari luka yang terdapat dalam bagian tubuh enggang tersebut kemungkinan besar adalah akibat tertembak oleh pemburu di hutan.

Iqbal sangat menyanyangkan kejadian itu, masih adanya masyarakat yang melakukan pemburuan terhadap satwa-satwa yang langka dan dilindungi.

“Jika dilihat dari ciri-ciri bagian tubuh enggang yang ditemukan membusuk itu, kuat dugaan bahwa itu adalah akibat tertembak oleh pemburu di hutan. Oleh karena tidak langsung mati sehingga pemburu tidak mendapatkannya, dan jatuh membusuk disini. Ini sangat disayangkan semestinya masyarakat kita ikut menjaga habitat enggang ini,” kata Iqbal.

Gencarnya sosialisasi dalam menyiarkan dan mengkampanyekan sejumlah satwa yang dilindungi kepada masyarakat. ternyata masih ada saja pemburuan liarnua.

Dikhawatirkan jika terus terjadi tidak menutup kemungkinan sejumlah habitat yang dilindungi. Contohnya Enggang ini akan semakin terancam dan akan punah.

Padahal enggang tersebut masuk satwa yang dilindungi dan bahkan enggang juga telah menjadi maskotnya Kalimantan Barat.

Saksi mata lain yang juga ada dilokasi kejadian, Iyan (33) mengatakan hal serupa bahwa enggang tersebut ditemukan membusuk diduga karena tertembak oleh pemburu yang tidak bertanggung jawab. Iyan menyanyangkan hal tersebut terjadi sebab enggang borneo saat ini termasuk bagian satwa yang dilindungi dan harus dijaga bersama.

Rangkong Gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yoki Hadiprakarsa

Makanan utama rangkong gading sangat spesifik, berupa buah beringin atau ara berukuran besar. Hanya hutan yang belum rusak yang dapat menyediakan pakan ini dalam jumlah banyak sepanjang tahun. Makanan lain berupa binatang-binatang kecil hanya dikonsumsi sekitar 2 persen dari keseluruhan komposisi makanannya.

Sama seperti semua jenis burung enggang, Rangkong gading hanya memiliki satu pasangan selama hidupnya (monogami). Setelah menemukan lubang sarang yang tepat, sang betina akan masuk dan mengurung diri.

Butuh sekitar 180 hari bagi rangkong untuk menghasilkan satu anak. Bersama rangkong jantan, lubang sarang akan ditutup menggunakan adonan berupa tanah liat yang dibubuhi kotorannya. Celah sempit disisakan pada lubang penutup untuk mengambil hantaran makanan dari sang jantan, dan juga untuk menjaga suhu dan kebersihan di dalam sarang.

Di dalam sarang, sang betina akan meluruhkan sebagian bulu terbangnya (moulting) untuk membuat alas demi menjaga kehangatan telur. Burung betina tidak akan dapat terbang dan bergantung sepenuhnya pada sang jantan, sampai sang anak keluar dari sarang. Tahap bertelur, mengerami, menetas, sampai anak siap keluar dari sarang membutuhkan waktu selama enam bulan.

Setiap tahunnya habitat rangkong gading di Indonesia yang berupa hutan tropis dataran rendah sampai perbukitan menghilang. Kondisi ini diperburuk dengan perburuan yang semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. doc/Rangkong Indonesia

Poonswad, dalam bukunya Ecology and Conservation menyatakan bahwa terdapat lima tahapan proses bersarang pada rangkong yaitu:

Pertama, tahap pre-nesting yaitu periode perkawinan. Ditunjukkan dengan usaha menemukan sarang (termasuk mengunjungi sarang) sebelum betina terkurung, berlangsung antara satu sampai tiga minggu.

Kedua, tahap pre-laying yaitu masa betina mulai terkurung sampai peletakan telur pertama, selama satu minggu. Periode aman bagi rangkong untuk mengeluarkan telurnya.

Ketiga, tahap egg incubation yaitu masa peletakkan telur pertama sampai telur pertama menetas, selama enam minggu. Pada Kangkareng perut putih hanya berlangsung selama empat minggu.

Keempat, tahap nesting yaitu masa dari induk betina keluar dari sarang (lobang sarang ditutup kembali) hingga anak memiliki bulu lengkap dan siap untuk terbang, berlangsung selama 8 - 13 minggu.

Kelima, tahap fledging yaitu masa dari pemecahan penutup sarang sampai semua anak keluar, memerlukan waktu dari hitungan beberapa jam hingga dua minggu, jika anak lebih dari satu.

Hilangnya hutan sebagai habitat utama, minimnya upaya konservasi, dan maraknya perburuan adalah perpaduan mengerikan bagi masa depan Rangkong Gading. Berbagai jenis pohon beringin yang menyediakan makanan utama bagi Rangkong Gading dianggap tidak memiliki nilai ekonomis sehingga keberadaannya tidak pernah diharapkan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 kelompok enggang dikategorikan sebagai satwa prioritas tinggi di antara kelompok burung, terutama rangkong gading (Rhinoplax vigil) yang merupakan spesies prioritas di antara kelompok enggang.

Mengingat tingginya ancaman perburuan dan perdagangan di masa lampau, konvensi internasional untuk perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES) sudah memasukkan rangkong gading ke dalam Appendix I semenjak tahun 1975.

Di Indonesia sendiri, mengingat fungsi ekologisnya yang sangat penting, semua jenis enggang dalam famili Bucerotidae dilindungi oleh UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1990.

Pada tahun 2015, status konservasi rangkong gading di tingkat internasional mengalami perubahan di mana yang semula terancam punah (Near Threatened) menjadi kritis (Critically Endangered), yang merupakan status konservasi terakhir sebelum punah (Extinct). doc/Rangkong Indonesia

Pada tahun 2015, status konservasi rangkong gading di tingkat internasional mengalami perubahan di mana yang semula terancam punah (Near Threatened) menjadi kritis (Critically Endangered), yang merupakan status konservasi terakhir sebelum punah (Extinct).

Burung rangkong gading (Rhinoplax vigil) adalah ikon konservasi dari hutan tropis di Asia. Suaranya yang khas dan keras dapat terdengar di hutan-hutan tropis di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, kemudian sebelah selatan Thailand dan Myanmar, Semenanjung Malaysia. Burung enggang berukuran besar ini memiliki peranan penting secara ekologis dan budaya, namun kondisinya kini mendekati kepunahan.

Sebagai pemakan buah terbesar di antara jenis spesiesnya, burung ini secara ekologis berperan penting dalam menjaga dinamika hutan tropis yaitu melalui pemencaran biji dari buah yang dimakannya. Seperti jenis enggang di Asia lainnya, untuk berbiak, rangkong gading membutuhkan lubang pohon yang alami terbentuk dengan ukuran yang sangat spesifik. Rangkong gading sedikitnya membutuhkan 6 bulan untuk berkembang biak dan menghasilkan seekor anak.

Rangkong gading juga memiliki nilai budaya penting untuk masyarakat Indonesia, khususnya untuk masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Di Provinsi Kalimantan Barat, burung ini merupakan simbol kebanggaan provinsi yang melambangkan keberanian dan keagungan Suku Dayak yang masih banyak mendominasi di provinsi paling barat pulau Kalimantan. Di provinsi paling selatan pulau Sumatera, rangkong gading memiliki nilai budaya yang melambangkan keagungan dan kepemimpinan bagi masyarakat pribumi Provinsi Lampung.

Dalam keluarga enggang, famili Bucerotidae, hanya rangkong gading yang memiliki balung (casque) yang besar dan padat di bagian atas paruhnya. Bagian padat dari balungnya terbentuk dari materi keratin yang umum disebut sebagai gading rangkong. Dengan karakteristik unik perpaduan warna kuning lembayung dan merah dengan tingkat kekerasan lebih lunak daripada gading gajah, gading rangkong menjadi incaran untuk dijadikan hiasan semenjak abad ke-14.

“Namun, informasi mengenai perburuan dan perdagangan rangkong gading sangatlah minim,” ungkap Yoki sapaan akrab Yokyok Hadiprakarsa dari Rangkong Indonesia dalam media workshop Rangkong Gading dan Arwana Red, yang digelar Yayasan Kehati, TFCA Kalimantan dan SIEJ, Rabu 28 Agustus 2019 di Jakarta.

Temuan 6000 burung mati dalam Investigasi 2013 di Kalimantan Barat. doc/Rangkong Indonesia

Yoki menjelaskan, setiap tahunnya habitat rangkong gading di Indonesia yang berupa hutan tropis dataran rendah sampai perbukitan menghilang. Kondisi ini diperburuk dengan perburuan yang semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2012-2013 di Kalimantan Barat, 6000 rangkong gading dewasa mati dan diambil kepalanya.

Temuan ini juga didukung dengan penyitaan 1291 paruh gangkong gading dalam rentang tahun 2012-2016 oleh pihak berwenang di Indonesia, di mana sebagian besar barang yang disita berasal dari Kalimantan Barat. Untuk burung yang memiliki perkembangbiakan yang lambat seperti rangkong gading, yang hanya menghasilkan satu anakan per tahun, perburuan dapat memberi dampak yang besar terhadap keberlangsungan populasinya di alam.

Sebanyak 72 paruh rangkong gading yang hendak diselundupkan pelaku TLC ke Hong Kong digagalkan petugas Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Foto: KLHK/BKSDA Jakarta

Lemahnya Pengawasan dan Maraknya Perburuan

Rabu 17 Juli 2019 lalu, pukul 05.00 WIB. Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Jakarta bersama Aviation Security [Avsec] dan Balai Karantina Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, menggagalkan penyelundupan 72 paruh burung rangkong gading [Rhinoplax vigil]. Seorang wanita inisial TLC [48 tahun] diamankan bersama barang bukti kejahatan tersebut yang hendak dibawa ke Hong Kong.

“Ini komitmen KLHK menindak kejahatan tumbuhan dan satwa liar melalui kolaborasi dan sinergi sejumlah pihak,” terang Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani dalam keterangan tertulis

Modus operandinya membungkus paruh rangkong dengan kertas alumunium foil, lalu dimasukan dalam kaleng biskuit. Kemudian, disamarkan dengan biskuit di atasnya. Enam kaleng itu dimasukkan dalam sebuah tas jinjing besar biru.

“Saat pemeriksaan, petugas mencurigai isinya. Setelah diperiksa isinya 72 paruh rangkong gading. Atas temuan itu, petugas Avsec dan Karantina melaporkan ke BKSDA DKI Jakarta, lalu pelaku beserta barang bukti diserahkan ke Balai Gakkum Jabalnusra Seksi Wilayah I Jakarta untuk penyidikan,” katanya.

“Upaya pengamanan dan pemantauan aktivitas perdagangan satwa liar dilindungi di bandara, pelabuhan, dan terminal bus terus ditingkatkan untuk mencegah peredaran ilegal tumbuhan dan satwa liar dilindungi,” terang Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Ditjen Gakkum, Sustyo Iryono.

Sustyo mengatakan, TLC sudah ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik bersama Polda berkoordinasi untuk melakukan penahanan. “Yang bersangkutan mengaku sebagai kurir,” paparnya.

Jalur penjualan Rangkong Gading. doc/Rangkong Indonesia